Translate

Blog Saya

Labels

Tayangan

Pengikut

Home » » Totopong / Iket Sunda

Totopong / Iket Sunda




Totopong (ikat kepala) mulai dikenal sekitar tahun 1450 Masehi atau pada masa Kerajaan Pajajaran. Awalnya, totopong dikenakan untuk melindungi kepala dari panas terik dan sebagai identitas diri.Pada masa perang kemerdekaan, totopong digunakan sebagai identitas para pejuang.
Pada era itu pula, totopong menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan. Totopong juga menjadi simbol pemersatu dan pengobar semangat orang Sunda kala itu.
Totopong merupakan ikat kepala terbuat dari kain polos atau kain batik. Ukuran kain pada umumnyasekitar 1 m2. Khusus totopong, memiliki ukuran setengah meter dan bentuk kain terbelah tengah secara diagonal atau sering dise-but setengah iket.
Totopong biasanya memiliki motif batik khusus, misalnya batik kangkung, kumeli, sida mukti, kawung ece, seumat sahurun, gjringsing, manyingnyong, katuncar mawur, kalangkang ayakan, dan porod, eurih. Sebagaimasyarakat agraris, para leluhur Sunda memanfaatkan totopong sebagai pelindung dari sengatan matahari dan gangguan hewan saat bekerja di sawah.
"Fungsi totopong sebagai simbol identitas diri dilihat dari pola mengikatnya. Bentuk ikatan totopong menunjukkan status sosial, cara mengikat totopong antara bangsawan dan rakyat berbeda. Setidaknya ada 22 cara mengikat totopong di kepala.
Beberapa model ikat misalnya yang paling sederhana, perengkos nangka. Biasanya dipakai oleh orangtua yang sedang tergesa-gesa, jadi cukup dibelitkan di kepala. Kalangan jawara atau jagoan, lain lagi ikat kepalanya, Mereka menggunakan model barangbang semplak atau kuda ngencar.
Macam-macam nama iket:
1. - Barangbang semplak, iket ini seperti barangbang (dahan kering) yang patah tapi masih nempel dipohon. Culannya hampir menutupimata. Bagian atasnya terbuka (terlihat rambut).Bisanyaiket model ini duludipakai oleh para jawara.
2. - Julang ngapak, bentuk iket ini seperti sayap burung terbang.Dipakai oleh para orang tua
3. - Kekeongan (di Banten disebutborongsong keong), bentuknya mirip seperti keong.
4. - Kuda ngencar, iket yangculanya dibelakang, ngampleh(tergerai) ke bawah. begitu mau ke bagian ujung (melengkung)naiklagi ke atas.
5. - Maung heuay, bentuk iket ini seperti mulut harimau yang sedang nganga (terbuka).
6. - Parekos nangka, bentukiket ini sangat sederhana (basajan). Biasanya dipakai oleh orang yang sedang tergesa-gesa.
7. - Porteng, iket yang culanya berdiri di depan, dan ujung-ujung kainnya digulung ke belakang.
8. - Talingkup, iket yang culanya didahi sampai menutupi mata. Talingkup artinya bisa menutupi.
iket menyimbolkan :
1. Syahadat
2. Sholat
3. Zakat
4. Puasa
5. Naik Haji (bagi yang mampu)
dilipat jadi segitiga
yg menyimbolkan :
1. Alif
2. Lam
3. Mim
kalau di satukan, dibaca jadi ALAM
kenapa ALAM ? padahal bisa saja ILMI, ILMU, ULUM atau ALIM?
tidak akan ada ILMI, ILMU, ULUM dan ALIM kalau tidak ada ALAM
Alam yang mana ?
Alam yang sudah,sedang dan akan terjadi
- yang di ciptakan Allah SWT
- yang dilakoni/dihuni oleh Nabi Adam as beserta keturunannya
- yang diakhiri oleh Rosulullah
lipat dalam beberapa lipatan yangrapih
besar kecilnya lipatan menyesuaikan besarnya pipi
menyimbolkan :
TARTIB (mendahulukan yang memang harus didahulukan, mengakhirkan yg diakhirkan)semua pekerjaan harus dilakukan secara dewasa dan sesuai kemampuan
diikat ke kepala, agar kita INGAT:
1. dari mana
2. lagi dimana
3. mau kemana
IKET merupakan kekayaan budayatutup kepala tatar Sunda. Selain iket, urang Sunda mengenal beragam tutup kepala lainnya: mahkota, tudung/cetok, dudukuy,kerepus/kopiah, peci, topi, dll. Tapi, yang masih erat dan langgeng dipakai dalam keseharian sampai sekarang –hususnya yang terdapat di masyarakat adat (Baduy, Ciptagelar, Kampung Naga, dll)– adalah iket.
Menurut Ralph L. Beals dan HarryHaijer dalam bukunya An Introduction to Antropology, tutup kepala merupakan bagian kelengkapan busana suatu kelompok, yang bahan dan modélnya sangat besar dipengaruhi oléh lingkungan dan budaya yang mempunyai fungsi praktis, éstétis, dan simbolis.
Fungsi praktis merupakan alat penutup dari panas, hujan, bendayang membahayakan, serta pembungkus barang dan makanan. Fungsi estetis sebagai aksesoris (life style). Sedangkan fungsi simbolis merupakan ciri untuk membedakan identitas dengan suku lain, serta terkandung nilai-nilai luhur kajembaran palsafah hidup.
Bukti masyarakat Sunda erat dengan tutup kepala yaitu adanya mahkota Binokasih peninggalan Kerajaan Pajajaran, yang kemudian diwariskeun kepada Kerajaan Sumedanglarang(sekarang menjadi koléksi Museum Geusan Ulun, Sumedang). Sedangkan iketterdapat pada arca megalitik di Cikapundung (sekarang daerah Kebun Binatang, Bandung), yang bentuknya menyerupai kepala memakai iket.
Dalam kehidupan masyarakat Sunda bihari/dulu, kelengkapan busana, termasuk iket, merupakan pembeda antara golongan ménak/bangsawan dan cacah/ rakyat biasa. Khusus untuk iket, yang membedakannyaadalah bahan, corak/ motif, dan beulitan/rupa iket. Golongan ménak menggunakan bahan kain batik halus dengan motif tertentu—réréng dan gambir saketi— yang menunjukkan stratasosial tinggi (feodalis). Sedangkan golongan cacah biasanya menggunakan kain batik sisian/batik kasar dan polos hitam/ iketwulung.
Falsafah dan rupa iket
Secara filosofis, iket berasal darikata saiket/satu ikatan, artinya sauyunan dalam satu kesatuan hidup. Ibarat lidi, jika sehelai tidak mempunyai fungsi, tapi jikadibentuk menjadi satu ikatan sapu, maka akan mampu membersihkan apa pun. Begitu pula manusia berlaku individual, tentu berat menghadapi suatu masalah. Lain ceritanya jika dilakukan bersama. Iket juga menandakan agar pemakainya tidak ingkah (lepas) dari jati diri Kasundaan.
Kepala merupakan subjek yang diikatnya, dan persoalan yang datang dari luar dan dalam dirinya merupakan objek yang harus dihadapi. Agar hidup senantiasa caringcing pegeuh kancing, saringset pageuh iket (siap menghadapi segala kondisi dan situasi).
Bagi urang Sunda, penghargaan terhadap kepala begitu luhur karena fungsinya sangat vital bagi kehidupan. Kata pamali merupakan larangan keras jika seseorang memukul atau menepuk kepala orang lain sekalipun. Hal tersebut bisa ditemukan dalam berbagai istilah keseharian; huluwotan (mata air),hulubalang (pengawal raja), panghulu (penghulu), sampai digunakannya dalam peribahasa; gedé hulu (sombong), asa dicabakhulu (merasa dipermainkan), teu puguh hulu buntutna (tidak jelas urusannya), nepi ka nyanghulu ngalér (sampai mati), dsb.
Motif dalam iket dibagi menjadi empat bagian, yaitu pager, modang, waruga, dan juru. Pageradalah motif yang ada di sekeliling iket. Modang, bentuk kotak pada bagian tengah iket. Waruga, bagian tengah iket yangpolos. Serta juru merupakan motif yang ada di setiap sudut iket. Sedangkan bentuk iket adadua bagian, yaitu persegi dan segitiga. Sebernarnya senua bentuk iket persegi, menjadi segitiga karena dilipat atau dipotong dari bentuk asli untuk mempermudah pemakaian.
Dua bentuk ini mempunyai falsafah hidup. Bentuk persegi menunjukkan hidup masagi/sempurna dalam arti pemikiran, dengan siloka opat kalima pancer atau opat pancer kalima diri urang. Pancer menunjukkan empat madhab/arah(utara, selatan, timur, barat) danbahan yang menjadi dasar kehidupam (tanah, air, angin, api).
Bentuk persegi juga terdapat di tengah motif/modang, yang selaluberlawanan dengan bentuk iket (diagonal), untuk membedakan dengan kain lain yang sejenis. Jikaiket dilipat jadisegitiga, bentuk modang ini akanlurus (horizontal).Hal ini menunjukkan kapancegan/konsistensi pandangan hidup. Danbentuk segitiga sendiri adalah kesamaan konsep tritangtu (ratu, rama, resi) yangharus dimaknai secara luas.
Rupa iket awalnya hanya dikenaltujuh bentuk pemakaian. Tapi, seiring dengan kreatifitas masyarakatnya, rupa iket semakin bervariasi, antaranya barangbang semplak, parékos/paros (parékos/paros nangka, jéngkol, gedang), koncér/paitén, julang ngapak, lohén, ki parana, udeng, pa tua, kolé nyangsang, porténg, dll.
Dari rupa iket dapat menunjukkan golongan, saperti rupa iket barangbang semplak (diCirebon disebut iket mantokan urung ceplakan) biasa dipakai oleh jawara, kuda ngencar untuk remaja, parékos/poros (di Cirebondisebut iket duk liwet) dipakai kaum tua untuk kegiatan ritual, porténg dipakai untuk kegiatan sehari-hari dalam bekerja, dan udeng dipakai golongan ménak.
Bukan sekadar gaya
Iket merupakan warisan budaya yang luhur nilainya, harus kukuh dipegang sebagai wujud simbolis keutuhan hidup. Begitu juga bagiurang Sunda sendiri, apakah hanya membanggakan luarnya saja sebagai bentuk indentitas, atau lebih mementingkan isinya. Menurut Dr. Ir. Thomas NIX, peneliti dari Belanda (Stedebouwin Indonesia Rotterdam, 1949), leluhur masyarakat Indonesia, hususnya Pulau Jawa, sudah mewasriskan kearifan lokal dalamsegala unsur kehidupan.
Nu lima diopatkeun, nu opat ditilukeun, nu tilu diduakeun, nu dua dihijikeun, nu hiji jadi kasép (yang lima dijadikan empat, yangempat dijadikan tiga, yang tiga dijadikan dua, yang dua dijadikansatu, yang satu jadi tampan), kalimat yang diucapkan budayawan Jakob Sumarjo ini, tentunya harus direnungi bagi setiap pemakainya. Bukan sekedar gaya, tapi harus dipahami makna dibalik lipatannya.Ketika dari lima menjadi satu, maka individu berusaha mendekatkan diri dengan Tuhan yang satu.
Melihat fenomena yang muncul kini, iket semakin tren di kalangan anak muda. Dengan berbagai motif dan gaya pemakaian. Bisa jadi dilatarbelakangi oleh kerinduan terhadap nilai tradisional yang semakin tergerus oleh modernisasi. Atau hanya sekedarpencitraan identitas tanpa pemaknaan.
Meskipun demikian, harus jadi kebanggaan bersama dengan diarahkan pertanggungjawabannya. Bahwa mengenal dan memaknai kembali kebudayaan Sunda tidak harus secara paksa. Tapi, diawali dengan kesadaran kecintaan melalui iket. Dengan cara itu, ikettidak akan kalah dengan ikat kepala/syal bergambar grup musik barat.
Makna Filosofis Dalam “Iket” Sunda
Generasi muda saat ini banyak yang gandrung dengan pemakaian “iket“. Mereka memilikicara pandang yang berbeda dalam membentuk “iket”,tetapi tetap memiliki acuan terhadap satu garis penciptaan karya “buhun” (kuno)
"…saceundeung kaen" (Bujangga Manik, isi naskah baris 36)
PENGGALAN kalimat tertulis di atasterdapat dalam naskah kuno Bujangga Manik yang menceritakan perjalanan Prabu Jaya Pakuan, seorang Raja Pakuan Pajajaran yang memilih hidupnya sebagai resi. Naskah diperkirakan ditulis sekitar abad ke-14. Isi naskah terdiri atas 29 lembar daun nipah yang masing-masing berisi 56 baris kalimat, terdiri atas 8 suku kata.
Kalimat “… saceundeung kaen ” mengandung arti selembar kain yang sering digunakan sebagai penutup kepala. Di tatar Sunda disebut totopong , iket , ataupunudeng . Pemakaian iket berkaitandengan kegiatan sehari-hari ataupun ketika ada perhelaan resmi seperti upacara adat dan musyawarah adat. Untuk beberapa waktu, umumnya kain penutup kepala hanya disebut totopong, iket, atau udeng totopong , iket , atau udeng . Tidak ada bukti tertulis mengenaisumber sejarah tentangpenamaan iket atau yang sekarang disebut rupa iket . Akantetapi, dalam perkembangan zaman, penamaan untuk rupa iket menjadi bagian dari kebudayaan yang mengandung nilai dan makna tersendiri.
Penamaan atau rupa iket dikategorikan sesuai zamannya, yaitu iket buhun (kuno) dan iket kiwari (sekarang). Untuk iket buhun sendiri ada yang berupa bentuk iket yang telah menjadi warisan secara turun-temurun dari para leluhur, ada pula rupa iket yang lahir dari kampung adat. Sementara itu, untuk iket kiwari , iket tersebut merupakan rekaan dari beberapa orang yangmemiliki rasa kebanggaan terhadap budaya iket buhun dan kreativitas dari nilai kearifan lokal.
Bakhan, beberapa rupa iket kiwari itu sendiri masih memiliki ciri yang mengacu pada pola rupaiket buhun . Beberapa nama rupa iket buhun yang dikenal olehsebagian besar umumnya adalah Barangbang Semplak , Parekos Jengkol , Parekos Nangka , dan Julang Ngapak . Parekos atau paros memiliki arti “menutup”. Yang berarti tipe rupa iket yang menutup bagian atas kepala atauhampir membungkus.
Dalam perupaan iket , di dalamnyalerkandung filosofi. Hal inilah yangmembuat iket itu sendiri menjadi salah satu warisanleluhur yang mengandung nilai yang begitu tinggi adanya. Seperti filosofi yang terkandung dalam rupa iketJulang Ngapak yang konon dahulunya dipakai khusus oleh para pandita kerajaan atau disebut purahita .
Filosofi yang terkandung berdasar kepada laku hidup seekor burung Julang ( Sundanese wrinkled hornbill ). Tipe burung ini sebelum mereka mendapatkan sumber air tersebut, mereka tidak akan berhenti mencari. Karakter inilah yang diadopsikan menjadi simbol Julang Ngapak, yaitu bahwa kita jangan pernah lelah mencari sumber kehidupan (ilmu, darma, dan jatidiri) sebelum mencapai hasil yang diinginkan.
Di luar rupa atau penamaannya, iket Sunda sendiri mengandung nilai makna filosofi yang dikenal dengan sebutan Dulur Opat KalimaPancer . Dulur Opat merupakan empat inti kehidupan yaitu api, air, tanah, dan angin. Dan Kalima Pancer mengandung makna yaitu berpusat pada diri kita sendiri. secara garis besar, Dulur Opat Kalima Pancer memiliki arti bahwa empat elemen inti tersebut terdapat pada diri kita dan berpusat menyatu sebagai perwujudan diri.
Mengenai iket kiwari yang telah berkembang saat ini, penamaan dan bentuk tetap berdasar kepada pola rupa iket buhun. Tanpa mengurangi nilai luhur dari warisan leluhur, begitu pun iket kiwari memiliki nilai-nilai filosofi di dalamnya. Hal inilah yang menjadi bagian dari pelestarian budaya yang bersifat kreatif, tetapi tetap memegang teguh nilai kearifan lokalnya. Terutama di kalangan generasi muda. Mereka memiliki cara pandang yang berbeda dalam membentuk iket tetapi tetap memiliki acuan terhadap satu garis penciptaan karya buhun (kuno).
Komunitas Iket Sunda (KIS) sendirimerupakan bentuk kreativitas sebagai wadah dalam melestarikan dan memperkenalkan budaya iket terhdap kalangan mmuda.
Keberkaitan
Didalam konteks keberagaman, sesungguhnya ada keberkaitan erat antara nilai-nilai filosofi iket dengan fungsi penutup kepala dalam kaitan nilai Islam. Fungsi dari iket menurut Islam umumnya adalah bisa digunakan sebagai sajadah, pengganti tutup kepala. Hal itulah yang membentuk hubungan antara manusia dan Allah Yang Pencipta yang disebut hablumminallah . Fungsi sebagai hablumminanas adalah iket sebagai penyambung silaturahmi berdasarkan warisan budaya daniket sebagai bagian dari cara saling memberi ilmu pengetahuan.
Dalam dunia Islam, dikenal serban atau sorban sebagai penutup kepala, sebagai bagian dari kelengkapan dalam salat atau beribadah. Memakai serban bagi umat Muslim adalah sunnah Nabi. Dalam beberapa hadis riwayat para sahabat Nabi Muhammad saw, mereka menceritakaan bahwa Nabi selalu menganjurkan agar memakai penutup kepala sebagai bagian dari kelengkapan pakaian salat dan bahkan di luar salat.
Di tatar nusantara sendiri, kita mengenal Wali Songo. Dari beberapa sumber sejarah, kesemuanya memakai penutup kepala. Menurut Oom Somara de Uci, sejarawan dari Rahagaluh, dahulu model rupa iket para wali diadopsi dari rupa iket Cakraningrat yang merupakan warisan Prabu Cakraningrat yangmemiliki kekuasaan kerajaan sekitar Rajagaluh majalengka. Iketyang dikemudian hari disebut iketCakraningrat Rajagaluh ini mengandung nilai filosofi yaitu iket yang melindungi mustika ; mastaka (kepala).
Ini bisa bermakna, mustika ini adalah kepala kita yang memiliki sumber dari sifat dan sikap kita di dunia dari sudut pandang manusia yang memiliki otak sebagai akal pikiran yang bisa memilih mana yang baik dan buruk. Bahkan, dalam perkembangan waktu, model iket Cakraningratini disebut pula iket para wali.
Perbedaan i ket Cakraningkat ini dengan iket Sunda lazimnya yaituterlihat dari model kainnya. Iket Sunda pada umumnya berupa kain segi empat, sedangkan iket Cakraningrat ini memakai kain persegi panjang sejenis karembong (selendang). Cara pemakaiannya rata-rata hanya diselipkan, tidak diiket atau ditali.Cara yang sama seperti pemakaian serban di kepala. Memang tidak ada sejarah tertulis sebagai bukti yang mendukung tentang iket Cakranignrat ini, tetapi perbedaannya menjadi bagian dari kekayaan budaya Sunda.
Filosofi Iket / Totopong
HUKUM PANCADHARMA :
1. Apal jeung hormat ka PURWADAKSI DIRI (Menyadari dan menghormat kepada asal usul diri)
2. Tunduk kana HUKUM jeung ATURAN (Tunduk akan hukum dantata tertib/ aturan)
3. Berilmu (DILARANG BODOH...!)
4. Mengagungkan SANG HYANG TUNGGAL (Allah SWT)
5. Berbakti kepada BANGSA dan NEGARA (Nusantara yg sesungguhnya, bukan Indonesia hari ini)
LIMA HUKUM yang menjaga perilaku BANGSA SUNDA"dititipkan"melalui POLA IKET/TOTOPONG,maka IKET KEPALA bukan sekedar GAGAYAAN.
Wujud wastrana totopong bisa segi opat atawa segi tilu.
Juru anu opat, ngawakilan dulur 4 ka 5 pancer :
1. Amarah
2. Lowamah
3. Sawiyah
4. Mutmainnah.
Ari pancerna nya di lambangkeun ku Modang segi opat di tengahnamaksudna diri pribadi sewang-sewangan.
Segi tilu perwujud tina hukum Tritangtu :
1. Karama'an
2. Karatuan
3. Karésian ( agama )
Ikét dipasangna dina mastaka, kulantaran dina mastaka aya mustika (tempat ngolah sagala rupa pamikiran antara hade jeung goreng, kudu jeung hénteujeung sajabana, anu tungtungna diputuskeun ku pancér hasil tina urun rembug antara dulur nu opat.

Sumber : Fb Catatan Alex Reformer

0 komentar:

Posting Komentar